Content

Saturday, June 2, 2012

parfum surga untukmu sahabatku (oleh Hiedha Ell Gazza)




Oleh: Hiedha Ell Gazza

“Kau mencium bau harum ini Rossum?” Tanya Luthfia. Matanya terus mencari sumber harum yang menggelitik pnciumannya. Sementara hidungnya menghirup dalam wanginya udara yang tiba-tiba di rasakannya.

“Ya, aku mencimnya, bau harum ini sudah tak asing bagi hidungku, sudah sejak lima tahun lalu aku menciumnya, dan wangi itu tak pernah berubah, aku selalu menikmatinya,” tutur Rossum, sesekali matanya terpejam, hidungnya menghirup dalam udara yang tersebar di sekelilingnya.

Mereka berdua terus berjalan, sesekali mereka harus melenggokkan tubuh dan kaki, menghindari gundukan-gundukan tanah yang tertata tidak beraturan supaya tak terinjak oleh kaki mereka.

Rossum berhenti pada sebuah gundukan tanah yang masih cukup basah, “Makam siapa ini? Dan sepertinya bau harum itu berasal dari makam ini,” ujar Luthfia, bau harum yang ia rasakan tadi, semakin tajam bagi penciumannya. Rossum tersenyum, lalu menunduk dan berjongkok di samping kanan makam itu.

“Kau benar, bau harum itu memang berasal dari sini. Inilah makam sahabatku Humaira, yang pernah ku ceritakan padamu, ialah sahabatku yang telah menyelamatkanku, hingga kesucianku tetap terjaga hingga kini. Jika waktu itu ia tak menguatkanku, jika kekeras kepalaannya tak ia tunjukkan kala itu, entah apa yang sudah terjadi pada kami. Mungkin kami akan menjadi santapan singa-singa kesetanan itu.” Tutur Rossum, suaranya bergetar, tapi tak nampak air mata meleleh dari sudut matanya. Air matanya terlalu mahal, untuk menangisi sebuah kenikmatan yang kini didapatkan sahabatnya.

“Kau merindukannya?”

“Ya, aku merindukannya, sangat merindukannya. Aku sangat mencintainya, aku sudah menganggapnya seperti keluargaku, ia kakak sekaligus Ibu bagiku, ia hadir mengisi hidupku, ketika aku tak tahu dimana keluargaku, Ayahku, saudaraku, bahkan Ibuku. Ia merengkuhku dengan penuh kasih sayang, di kala ketakutan mendera di setiap desahan napasku. Aku merindukannya, sangat merindukannya.” Rossum menunduk.

Kembali terlintas bayang-bayang masa lalu yang sangat menyakitkan hatinya. Bayang-bayang masa lalu yang telah merenggut kehormatan sahabat-sahabat seperjuangannya, dan hampir merenggut kesucian yang dijaganya sungguh-sungguh.
                                                            ***                                  

Siang itu salju masih turun seperti hari-hari kemarin, akhir musim dingin yang tak terlupakan. Rossum tak pernah berpikir, bahwa ia dan sahabat-sahabatnya akan mengalami satu tragedi yang sangat memilukan.

Siang itu, sepanjang jalanHeeswijkpein, Moerwijk kota Den Haag, Belanda. Masih cukup lengang. Musim dingin membuat siapapun lebih memilih tetap di dalam rumah. Untuk mereka yang memang harus beraktivitas keluar rumah, jaket tebal lengkap dengan syal yang melilit leher akan menemani setiap langkah kaki.

Rossum beserta ketiga sahabatnya termasuk salah satu diantaranya yaitu Humaira, sedang tergesa-gesa menuju masjid Al-Hikmah. Kegiatan rutin setiap jum’at siang. Berkumpul dengan mualaf-mualaf belanda, dan membagi ilmu yang mereka miliki pada mualaf-mualaf itu.

 Mereka terus berjalan, menyusuri jalanan Heeswijkpein, Moerwijk kota Den Haag, dengan langkah-langkah lebar. Sesekali mereka menyatukan tangan masing-masing, menghindari dingin salju yang sedikit banyak menempel di syal dan jilbab mereka.

“Siang ini sepi sekali,” Ujar Humaira pada sahabat-sahabatnya.

“Ya… semoga di masjid Al Hikmah tak sesepi jalanan ini, semoga saudara-saudara kita tetap setia menanti kita, semoga dinginnya salju tak menyurutkan semangat mereka belajar mendalami  islam.” Harap Rossum, ketiga sahabatnya mengamini.

“Maafkan aku, karena aku kalian jadi turut terlambat.” Merasa dirinya yang menyebabkan sahabat-sahabatnya terlambat, Alicia memohon maaf.

“Sudahlah Alice, kami mengerti keadaanmu, dan kami tak akan meninggalkanmu, dan membiarkanmu berangkat ke masjid Al Hikmah sendirian. Kita akan selalu bersama.” Hilda merangkul Alicia,

“Terimakasih teman-teman,” Alicia membalas pelukan Hilda, mereka berempat pun tersenyum.

Tak berapa lama mereka sampai di halaman Masjid Alhikmah yang luas, hampir seluruh jalanannya kini telah putih tertutup salju, pohon Elsevier yang dulu tumbuh dengan daun-daun yag lebat  menghiasi masjid  Al Hikmah, kini hanya tinggal ranting dan batang yang tertutup salju tebal.

Mereka terus berjalan, memasuki salah satu ruangan masjid yang biasa di gunakan khusus untuk kajian-kajian keislaman. Sesampainya di ruangan itu, mereka sudah di tunggu seitar 30 wanita-wanita dari berbagai negara, ada mahasiswi Inggris yang sedang kuliah di Belanda, ada pula mahasiswi Thailan dan negara-negara Asia lainnya, tapi sebagian besar dari mereka asli wanita-waita berkebangsaan Belanda.

Setelah mengucapkan salam dan memhon maaf atas keterlambatan mereka, Humaira memulai kajian itu, seperti biasa ia selalu membuka kajian itu dengan mengisahkan sebuah kisah perjuangan muslimah-muslimah yang ada di belahan dunia manapun dalam memperuangkan keislaman mereka,

“Beberaa bulan lalu, ketika saya berkunjung ke Spanyol, untuk observasi mencari referensi untuk  buku yang sedang saya tulis, sungguh ternyata perkembangan islam di sana, tak jauh berbeda dengan apa yang kita alami di sini.

Orang-orang islam di sana masih banyak yang menerima penyiksaan, tak ada sekolah islam yang berdiri di sana, bagi mereka wanita-wanita muslimah, serta anak-anak muslim yang ingin sekolah, harus melepas hijab yang mereka kenakan ketika berada di lingkungan sekolah. Mereka harus menerima ejekan dari teman-teman mereka di sekolah, bahkan hingga perlakuan yang sungguh keterlaluan dari guru maupun teman-teman mereka tak luput mereka terima, tapi walau begitu, mereka tak gentar, mereka tak menyerah, mereka tetap pada keislaman mereka, sungguh berat cobaan yang harus mereka jalani di sana daam mempertahankan nikmat islam yang telah mereka rengkuh dengan penuh perjuangan.
Mereka selalu menghibur diri mereka, dengan megingat balasan surga yang Alloh janjikan untuk mereka.
Dan ku harap begitu pula dengan saudari-saudariku semua, apapun yang terjadi, tetap perjuangkan keislaman yang sudah kalian rengkuh, teguhkanlah hati kalian menjalani segala rintangan dunia ini, Ingat balasan yang akan Alloh berikan pada hambaNya yang teguh berpegang pada agama Nya. Perkuat tali persaudaraan kita di sini, maka kita akan merasa lebih ringan dalam menjalankan semuanya…”

Humaira terus menyampaikan petuah-petuah penyemangat , sesekai ia bergantian dengan Rossum, Hilda juga Alicia.
Tak terasa 2 jam berlalu, Adzan Ashar berkumandang. Humaira menutup kajian dengan bersama-sama menghafal asmal husna dan ayat kursi. Setelah itu mereka beranjak mengambil air wudhu. Sholat asharpun berjaan hikmad.

“Alice, jika kamu ingin pulang, pulanglah! Biar Hilda yang menemanimu!” Ujar Humaira selepas menunaikan sholat ashar.

“Tidak, Aku pulang bersama kalian saja, lagi pula aku sudah meminta izin. Hari ini aku bisa keluar lebih lama. Mungkin aku bisa membantu kalian.”

“Tapi mungkin kami akan kembali selepas Isya, masih banyak yang harus kami lakukan, aku takut, Nyonya Merlin akan memarahimu lagi.”

Alicia terseyum,”Insyaalloh tidak, asalkan selepas isya kita segera kembali, terima kasih sudah menghawatirkanku.”
“Baklah kalau begitu. Insyaalloh selepas isya nanti, kita segera kembali.” Akhirnya Humaira mengabulkan permintaan sahabatnya itu.

Setelah merapikan mukena, mereka beranjak menuju Openbare Bibliotheek, mencari sumber-sumber referensi untuk tugas kuliah mereka.

                                                            ***
Isya pun tiba, mereka baru saja keluar dari masjid Al Hikmah. Dinginnya salju benar-benar menusuk tulang-tulang mereka, tapi itu semua seolah tak menyurutkan semangat mereka. Mereka, muslimah-uslimah tangguh, yah… diri merekalah yang mengharuskan mereka untuk menjadi wanita yang tangguh, satu titik di belahan benua Eropa ini membutuhkan mereka, untuk mewujudkan semua itu, ketangguhan memang modal utama.

Mereka terus berjalan, menyusuri jalanan Heeswijkpein lengang, jarang sekali mereka menjumapai orang-orang yang berlalu-lalang, yang tampak hanyalah rumah-rumah yang tertutup rapat dengan kerlipan lampu yang sedikit redup.

“Aku sudah sampai, terimakasih telah mengantarkanku, lebih baik kalian mampir dulu, kita minim teh sebentar?” Alicia menawarkan.

“Terima kasih, lebih baik kami cepat kembali ke apartemen kami, Insyaalloh lain waktu kami akan mampir.” Ujar Rossum. Di sambut anggukan Hilda dan Humaira.

“Baiklah, hati-hati di jalan, kita bertemu lagi minggu depan.” Sambil membuka pintu rumahnya Alice tersenyum.

“Assalammualaikum…” ucap Humaira, Rossum dan Hilda bersamaan.

“Waalaikumsalam…” jawab Alicia.

Tak berapa jauh dari rumah Alicia, di sebuah gang kecil yang sangat sepi, Rossum dan kedua sahabatnya di hadang oleh sekitar 3 orang laki-laki yang sedang mabuk.  Mereka menceracau tidak jelas.

“Hai nona… malam-malam begini mau kemana? Lebih baik ikut kami, di sini sangat dingin, kita menghangatkan badan, minum ini, biar hangat…..” Ceracau salah satu dari ketiga lelaki itu.

“Jangan macam-macam, atau kalian akan menyesal!” Gertak Humaira.
Lelaki-lelaki itu tertawa terbahak-bahak, menertawakan ancaman Humaira.

“Nona cantik, tak perlu kau mengancam kami, ayo ikut kami…” sambil  tangan kirinya menggenggam leher botol berisi Anggur, lelaki itu menarik lengan Humaira.

“Lepaskan! Jangan sentuh aku!!!” Humaira mencba melepaskan diri,

“Hahahaha…. Bawa kedua gadis itu ke markas, kita santap bersama-sama…. Hahahaha!!!” seru lelaki itu,

“Aaa…. Tolong!!!… Jangan bawa kami, lepaskan kami!!!” pinta Hilda.

“Apa yang akan kalian lakukan pada kami?” seru Rossum.

“Hahaha…. Apa yang akan kami lakukan pada kalian? Memangsa kalian tentunya!! Hahahaha!!” Lelaki yang memegang Rossum menyahut, lalu tertawa terbahak-bahak, sangat menjijikan.

Mereka bertiga di giring ke sebuah gedung kosong, barang-barang bekas berserakan di mana-mana, debu tebal menyelimuti lantai dan perabotan yang ada. Pemabuk itu melemparkan Rossum, Humaira dan Hilda kelantai, seketika debu-debu beterbangan, membuat mereka bertiga terbatuk-batuk. Pemabuk-pemabuk itu tertawa terbahak-bahak, salah satu di antara mereka berusaha melepas hijab yang di kenakan Humaira, tapi Humaira berusaha sekuat tenaga menghalangi niatan itu, ia dekap tubuhnya erat, ia tak akan mebiarkan auratnya terlihat lelaki bejat itu secenti pun.

Begitu pula yang di alami Rossum dan Hilda, satu persatu hijab mereka di lucuti, mereka tak sekuat Humaira yang bisa memertahankan hijabnya. Sweeter yang membungkus tubuh Hilda sudah di lepas paksa, pemabuk-pemabuk itu menampar dan menendang mereka betiga dengan keras, ditambah efek alkohol yang mereka tenggak, semakin pemabuk-pemabuk itu lupa diri dan beringas. Sedangkan Rossum, Humaira dan Hilda terus membela diri dengan menendang dan melemparkan benda-benda apa saja yang ada di dekat mereka, sesekali lemparan mereka mengenai kepala pemabuk-pemabuk itu.

Setengah jam berlalu, tapi pemabuk-emabuk itu sama sekali belum berhasl melumpuhkan mereka bertiga.  Lelah mulai menyergap,
“Aaarrghhhh… kalian benar-benar keras kepala!!!” seru salah satu pemabuk itu. Kini ia mulai terlihat lelah, mungkin karena ia terlalu mengeluarkan energi untuk melumpuhkan mereka bertiga.

“Tetap di situ!!! Jangan berani macam-macam!!!” lanjutnya, lalu menyandarkan tubuhnya di sebuah kursi tua. Begitu pula yang di lakukan kedua temannya.

“Maira… aku sudah tdak kuat lagi, aku sudah sangat lelah…. Tangan dan kakiku sudah sangat sakit,” desis Hilda sambil menekan luka sayatan di kakinya yang mengeluarkan banyak darah.

“Bertahanlah Hilda, kita pasti selamat, aku tidak rela jika mereka harus merenggut kehormatan yang selama ini kita jaga, lebih baik aku mati dari pada menyaksikan kehormatanku terenggut paksa.” Geram Rossum berujar..

“Tidak Rossum, kita tidak akan mati di sini, aku tidak akan membiarkan mereka berhasil merenggut kehormatan yang selama ini kita jaga, entah dalam keadaan hidup atau mati, tidak akan pernah!!! Percayalah kita pasti akan selamat, kita akan keluar dari sini, Alloh pasti menolong kita, kita akan tetap mati pada akhirnya nanti, tapi tidak di sini, percayalah itu!” Humaira mencoba menguatkan kedua sahabatnya yang hampir putus asa, luka gores akibat sayatan pisau dan lebam akibat pukulan pemabuk-pemabuk itu, telah sangat membuat mereka lemah.

“Tapi dengan keadaan seperti ini apa kita..”

“Ssstttt…. Kau meragukan kekuasan Alloh?” Humaira menyela keluh putus asa Rossum. Mendengar itu, Rossum terdiam, menggeleng lemah. Sementara itu, Hilda sudah dalam keadaan setengah sadar, ia sudah cukup kehabisan darah,

“Maira, keadaan Hilda semakin parah…”

“Ya…aku tahu, tenanglah, aku baru sja mengirim pesan pada saudarau bahwa kta sedang dalam bahaya, InsyaAlloh sebentar lagi polisi kan datang. Sekarang kita harus menghentikan darah yang mengalir dari luka Hilda,” Ujar Humaira, matanya menyapu semua ruangan, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memotong kain hijab Hilda, karena tak mungkin ia membalutkan kain hijab Hilda pada luka sayatan itu, terlalu besar .

Akhirnya matanya menangkap sebuah pisau, ya… pisau milik pemabuk-pemabuk itu, ia berdiri, mencoba meraih pisau lipat yang tergeletak di samping pemabuk yang dalam keadaan seetengah sadar karena pengaruh alkohol, tapi tiba-tiba pemabuk itu tersadar, cepat ia raih pisaunya yang tergeletak di tanah, secepat kilat ia tusukkan ke perut Humaira,

“Astaghfirullh Humairaa!!!!” Rossum memekik, matanya membesar, kedua telapak tangannya menutup mulutnya, kedua pemabuk yang lain segera sadar,

“Kita habisi saja mereka!!! Baru setelah itu kita…”

Braak!!!!

Belum selesai pemabuk itu mengutarakan niatnya, pintu gudang di dobrak dari luar, segerombolan polisi keamanan dengan senjata lengkap telah mengepung tempat itu. Sejurus kemudian Rossum bisa bernapas lega, tapi itu tak berlangsung lama, ketika ia kembali tersadar akan keadaan kedua sahabatnya.

Cepat tubuh Humaira dan Hilda di masukkan ke dalam ambulance, Rossum tak henti-hentinya menangis.

“Rossum, kau harus berjanji padaku, demi cintamu pada Alloh dan Al Islam kau akan melanjutkan perjuangan kita selama ini, walau tanpa diriku, kau akan mengembangkan amanah yang selama ini kita emban bersama,” Ujar Humaira, senyum ikhlas menghias bibir merahnya.

“Maira….Jangan berkata seperti itu, kau pasti….Innalilahi wainnailaihi roji’uun…” desis Rossum, menyadari Humaira telah menghembuskan napasnya untuk yang terakhir kalinya. Ia tengokkan kepalanya ke arah Hilda yang tergeletak lemah di sampingnya, sesaat Hilda tersenyum, lalu memejamkan matanya, detak jantungnya berhenti, ia menghembuskan napasnya yang terakhir kalinya.

                                                            ***

Kau pantas mendapatkan parfum surga sahabatku, kau tak hanya mengharumkan dirimu saja, tapi juga semua yang pernah mengenalmu.” Tak terasa airmata Rssum meleleh. Jemarinya menggenggam rumput yang menyelimuti makam Humaira.

0 komentar:

Post a Comment

Orang baik selalu meninggalkan komentar :)

Behind The Web

About

Contact

Name

Email *

Message *

Followers

Archive

ads ads ads ads

The Flash plugin is required to view this object.

Weekly Posts

The Flash plugin is required to view this object.

The Flash plugin is required to view this object.

Subscribe me

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

Pengnunjung

free counters

Popular Gallery

Something