Content

Saturday, June 2, 2012

SAYANGILAH HUTAN KITA (oleh Dirham Ahmad Adenar)




 Dunialah satu-satunya tempat tinggal yang dapat dihuni oleh makhluk hidup seperti kita. Di bumi yang kita cintai ini, kita dilahirkan dan dibesarkan. Diajak melihat hutan yang rindang daunnya dan lebat buahnya. Diajak melihat pantai dengan ombak yang menari-nari membelai samudera. Melihat perkebunan, sawah, padang rumput yang rindang dan dihiasi keanekaragaman flora dan fauna. Oh, betapa besar karunia-Mu, Tuhan. Menciptakan langit dan bumi ini yang indah dan luas sekali.




Di desa yang kutempati, terkenal asri dan indah. Membuat kami nyaman. Tidak ada satupun sampah yang mengotori pemandangan hijau ini. Dedaunan masih basah dimandikan embun pagi. Induk ayam tengah berdansa bersama anak-anaknya. Begitupun dengan burung-burung, yang bertengger di atas sarangnya, yang terdengar dendangannya menyanyikan lagu pagi.

Seperti biasa, aku terbangun dan menguap. Udara segar sudah menyapa tubuhku. Semburat mentari mengetuk dan menembus jendela kamarku. Lalu aku bangkit menuju jendela, kemudian kusapa dunia.“Selamat pagi dunia!”Setelah aku sarapan, mandi, dan menyiapkan buku-buku kedalam tas sekolahku. Akupun bergegas berangkat, tetapi tidak seperti biasanya ayah dan ibuku menungguku di luar rumah. Ternyata ayah memberikan sesuatu yang istimewa untukku. Ya, kali ini uang sakuku mendapat bonus, karena kemarin aku menjuarai lomba penghijauan. Sementara itu, ibuku tengah menjemur pakaian yang masih bersimbah air. “Selamat pagi, ayah!” sapaku.“Selamat pagi, ibu!” tambahku.“Pagi, nak!” jawab mereka.Ayah merogoh kantung celananya, kemudian ada sebuah dompet . Dari dalam dompetnya itu rupanya ayah memberiku sepeser uang. Sebab, biasanya aku mendapat uang tidak menentu dan tidak sebesar yang kupegang tadi. Mungkin tidak begitu besar bagimu, tetapi bagiku lumayan untuk uang sakuku selama beberapa minggu ke depan.“Terima kasih ayah. Terima kasih ibu. Aku berangkat sekolah dulu dan sampaikan nanti,” pamitku seraya mencium tangan kanan ke-dua orang tuaku.“Hati-hati di jalan ya!” balas mereka.Aku mengayuh sepeda baruku. Aku tak menyangka, kalau hari ini aku dilindas rezeki dari ayahku. Aku bersukur sekali, sebab hari ini aku memperoleh uang jajan lebih dan sepeda baru.

Pagi ini aku merasa riang sekali. Mungkin aku mendapat dua buah keistimewaan. Pertama, aku mendapat uang saku lebih dan sepeda baru. Kedua akupun memperoleh hal tersebut, karena tanda kasih sayangnya mereka kepadaku.


*******

Di sepanjang jalan, kupandangi ladang yang masih ditutupi tirai embun pagi. Kemudian, aku melewati pematang lumbung padi yang siap digali. Lalu meniti jembatan merah, yang dibawahnya dihiasi ikan-ikan yang sedang berkejar-kejaran.

Sebelum aku hendak menuju hutan. Tiba-tiba aku terperangah, kali ini bukan main. Aku melihat kenyataan pahit yang merasuki hatiku. Kemudian aku memasuki hutan. Lama sekali kupandangi. Aku melihatnya begitu miris. Hutan kesayanganku yang menemaniku setiap saat, mulai dari fajar menyongsong, dari mentari terbangun, dari sang raja siang tergelincir, dari sore hari, dari lembayung senja, bahkan sampai sang surya diganti bulan, itu tidak lagi seindah dulu.“Pasti ulah tangan keji yang tak bertanggung jawab. Keterlaluan,” jeritku.Tapi aku tak dapat berbuat apa-apa. Selama ini kudengar dari tetangga-tetanggaku, hutan ini akan dibangun sebuah pabrik. Maka jelas, hutan ini gundul ditebangi pohonnya.

Aku khawatir bagaimana nasib kami kalau terjadi banjir. Apalagi kalau sudah dibangun pabrik, pasti asap-asap dan limbah akan mencemarkan lingkungan. Aku tiada bisa membayangkan, apabila setiap ku keluar rumah akan menghisap asap. Belum lagi, air keran yang setiap hari kunikmati akan mengandung racun. Sebenarnya bukan aku saja yang bernasib demikian, tetapi mereka, tetangga-tetanggaku, keluarga yang kucintai, hewan-hewan yang tiada berdosa, tumbuh-tumbuhan serta pepohonan yang bermanfaat bagi dunia ini, akan mengalami hal serupa.

*******

Keesekon harinya. Aku bersama beberapa temanku, Miranda dan Haris. Hendak pergi ke sekolah. Kemudian kudengar suara bising dari mesin-mesin yang letaknya di dalam hutan itu. “Itu seperti suara gergaji mesin,” kata Miranda setengah yakin.“Iya, tetapi dari arah mana,” ucap Haris.“Sepertinya dari arah sana,” sembari menunjuk.“Ya sudah, mari kita ke sana,” tuturku.Tetapi setelah kami dekati, kami lihat dengan mata kepala kami, mereka sedang menebangi pohon-pohon dengan gergaji mesin. Lemas rasanya tubuh kami. Kami bagaikan tak berdaya. Miranda pun sempat menitikkan air mata. Bukan main api amarah berbaur duka kami. Tetapi inikah yang kami terima? Sedang kamipun tak dapat berbuat apa-apa.“Mengapa mereka tega berbuat demikian? Mengapa mereka merusak hutan ini?” sengit Haris.“Mereka amat serakah! Kemanakah akal mereka? Kemanakah pikiran dan hati nurani mereka?” kataku.“Tetapi manusia seperti mereka yang katanya lebih modern dan lebih pintar dari kaum adat, kamu seperti kami, tidaklah setamak mereka,” jawab Miranda sambil menghapus air matanya.“Hewan saja yang hanya mengandalkan insting, menyayangi hutan. Tetapi mereka yang mempunyai akal seperti kami, tidak memiliki rasa kepedulian terhadap hutan ini. Mereka hanya bisa merusak, merusak, dan merusak saja!” balasku.

Rasanya percuma kami berteriak dan marah. Tumpukkan kayu-kayu yang sudah terpotong-potong itu semakin banyak. Padahal, mereka seharusnya tumbuh subur dan memberikan manfaat lebih banyak untuk kehidupan hutan ini.

Pohon-pohon itu dapat menyerap air hujan untuk disimpan di musim kemarau. Menyerap polusi dari pabrik-pabrik yang mulai menjamur di hutan ini. Akar-akarnya dapat mencengkram tanah di bawahnya yang sebenarnya rapuh. Pohon-pohon itu dapat tumbuh lebih besar lagi dan hidup lebih lama lagi. Mereka bermanfaat untuk menangkal sinar mentari yang terik di siang hari. Tetapi sepertinya, hutan yang menjadi sahabat kami sehari-hari ini akan sirna dan mungkin nasib kami serta para penduduk desa di hutan ini, akan ditelan bencana.

*********

Beberapa hari kemudian, aku melintasi hutan menuju tempatku menimba ilmu. Tetapi kali ini hutan itu diselimuti asap putih berbaur dengan cahaya merah. Penduduk desaku yang mengetahui kejadian ini, segera berlarian ke sana- ke mari. Tidak hanya itu, suara mereka terdengar keras memekik.“Kebakaran...kebakaran...kebakaran,” serempak mereka.Sementara itu, aku mendengar suara binatang kesakitan. Semua pepohonan terdengar menjerit dilalap si jago merah. Ku lihat binatang-binatang itu berlarian. Mereka seperti minta tolong dan menyeru kepadaku. Kemudian aku terbatuk. Asap itu menghampiriku.“Maafkan aku hutanku. Aku tak dapat berbuat banyak untukmu,” benar-benar menyayat hati. Aku berdiam diri sembari memanjatkan do’a. Hutan ini akan musnah. Aku dan kami, penduduk desa di dekat hutan ini sepertinya tidak akan lagi mendengar kicauan burung. Tidak hanya itu, kami pun mustahil melihat kerindangan pohon dan merasakan kesejukannya setiap waktu. “Ya Allah, yang maha mengetahui, apa-apa yang akan dan sudah kuketahui. Aku mohon selamatkan hutan ini. Aku ingin melihat hutan ini sampai akhir hayatku. Sungguh, aku mencintai hutan ini. Maafkanlah ketamakan orang-orang tamak, yang menebang dan membakar hutan ini. Berilah mereka hidayah, ya Allah. Amin,” do’aku mengalun ke Arsy Ilahi Rabbi.Asap itu semakin tebal dan membumbung tinggi. Lalu aku meneruskan perjalananku menuju sekolah. Jarak hutan ke sekolah ku, tidak begitu jauh dan tidak pula begitu dekat. Hutan ini sudah ku lewati. Sepanjang jalan, orang-orang kampung masih menjinjing, mengendong, dan memikul beban berat. Mereka terisak sambil membawa harta kesayangannya. Mereka menerobos semak-semak, tetapi tidak terlihat lagi. Aku khawatir mereka masuk ke dalam jurang karena terlalu paniknya.

 ********

Sesampainya di sekolah. Bel berdering keras. Aku bergegas menuju masuk gerbang sekolah. Kemudian ku sandarkan sepedaku. Nafasku agak sesak. Kurasa asap tadi dan larianku yang membuatku demikian. “Kamu tidak apa-apa kan?” tanya Rizka.“Oh, tak apa-apa. Hanya sesak sedikit saja!” balasku.“Apa yang terjadi pada hutanku tadi? Apa tadi hanya mimpi?” desah hatiku.Aku menoleh ke arah gerbang sekolah. Aku khawatir asap tadi sudah sampai di situ. Tetapi, yang aku lihat hanya teman sekolahku yang berdiri sembari memegang gerbang sekolah itu. Mereka bagaikan di penjara. Tidak hanya itu, mereka akan diberi hadiah.

Lalu aku masuk ke dalam kelas. Kegelisahan benar-benar menyergap hatiku. Akupun tak dapat berkosentrasi seperti biasanya. Tidak hanya itu, raut wajah Haris dan Miranda tampak lebih murung. Aku yakin mereka sudah mengetahui apa yang dialamiku. Mungkin hanya kami bertiga yang mengetahui kalau hutan kesayangan kami sedang meradang dan terbakar saat ini.

Burung-burung yang melekat di atap sekolah, tiba-tiba saja mengepakkan sayapnya dengan sangat panik. Mereka berlarian dengan berteriak. Sementara itu, pohon-pohon itupun menggugurkan kembali daunnya dengan sangat banyak. Belum sampai menyentuh bumi, daun-daun kering itu dibawa angin. “Ada apa sih!” tengok Dian, kemudian disusul teman-teman yang lainnya.“Hanya angin,” sambung Pak Guru dan melanjutkan pelajarannya.“Tetapi aneh sekali ya pak?” heran Rizka.“Iya, pagi-pagi seperti ini. Anginnya seperti di siang hari,” potong yang lain.Tidak beberapa lama setelah itu, angin tadi memutih. Kentongan sudah ditabuh nyaring. Suara samar-samar terdengar hingga ke dalam kelas. Pak Guru segera membuka pintu. Rupanya di gerbang sekolah terlihat asap tebal.“Ada apa pak?” heran yang lain.“Kalian jangan panik. Tetapi, sekarang bereskan buku-buku kalian ke dalam tas dan cepat kita keluar kelas,” kata Pak Guru. Belum sempat kami keluar kelas. Asap tadi sudah membuat kami sesak disusul dengan batuk kecil. Tidak hanya itu, asap tadi membuat mata kami memerah dan perih sekali. Karena tak tahan, semua warga sekolah akhirnya berhamburan ke halaman belakang. Tidak sedikit yang mencoba menerobos asap melalui halaman depan. Sebab, halaman belakang sekolah dibentengi pagar. Terpaksa kami harus bersusah payah mendaki pagar tersebut.


*******

Semua warga sekolah berdesak-desakkan dan bertubrukkan satu sama lain. Kami berhimpitan memburu satu arah untuk menyelamatkan diri. Akupun dibuat sesak. Asap sudah semakin tebal. Kentongan desa sudah terdengar riuh. Beberapa warga desa bersahut-sahutan.“Kebakaran...kebakaran...kebakaran!. Tolong....tolong!”Dari kejauhan, aku melihat sirine pemadam kebakaran menyala-nyala dengan iramanya. Petugas pemadam kebakaran terjun ke lokasi. Kamipun tak tinggal diam. Kami bertiga berupaya memadamkan api dengan beberapa ember. Kemudian disusul teman-teman, semua osis dan guru-guru lainnya yang ikut memadamkan api dengan cara seperti kami.

Tiba-tiba polisi hutan datang. Sementara api dan asap belum mampu dibinasakan dengan tumpahan air yang kami lakukan. Asap disusul dengan api semakin menyeruak. Aku, Haris dan Miranda, sepakat untuk melihat melihat keadaan hutan kesayangan kami. Tetapi, sepertinya asap lebih berani daripada kami. Berkali-kali kami menerobos asap-asap itu, tetapi semakin lama, semakin sesak dan terbatuk-batuk. Padahal kami sudah menutup hidung. Asap juga menutupi pandangan kami. Rasanya usaha kami begitu sia-sia untuk menyelamatkan hutan kami.“Ma’afkanlah kesukaranku menyelamatkanmu, hutanku. Tetapi aku masih mempunyai Allah SWT yang senantiasa melindungimu,” seruku.“Sudahlah,” tenang miranda sambil menepuk bahuku.Aku sedih sekali mendapatkan dua buah kesengsaraan bertubi-tubi. Pertama, hutan kesayanganku terbakar dan aku tiada bisa lagi mendengar nyanyiannya lagi. Kedua, sekolahku juga ikut terbakar. Padahal, tinggal beberapa hari lagi ujian akan dilaksanakan. Aku kecewa dengan kejadian ini. Terutama kepada mereka-mereka yang seenaknya melenyapkan hutan dan sekolahku. “Kita tak dapat bersekolah lagi,” rintih Haris.“Bisa, tapi kuyakin beberapa bulan lagi,” sambung Miranda dengan penuh keyakinan.“Lama sekali aku menunggunya,” sambung Haris sembari terbatuk.Sebenarnya kalau boleh kami memilih. Lebih baik kami belajar ke sekolah daripada kami belajar di rumah. Menurut kamipun lebih indah belajar daripada menyia-nyiakan waktu untuk bermain. Sebab, kami begitu optimis dan mempunyai semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Tentunya dengan do’a dan ikhtiar.

Tiba-tiba awan tebal menabrak awan yang lainnya. Terjadilah cahaya disusul gemuruh petir. Kilat petir menjilat pepohonan yang menjulang tinggi. Kami berlari. Entah apa yang terjadi saat ini. Cuaca cerah sudah berubah pekat. Surya bagaikan ditelan awan. “Bagaimana ini? Kita terus ke hutan atau kembali ke sekolah?” tanya Haris dengan agak panik.“Kita sebaiknya meneruskan perjalanan kita,” jawabku.“Kalau menurutku kita kembali saja. Aku takut terjadi hal-hal yang tak diinginkan” sanggah Miranda.“Kau yakin kita lanjut?” penasaran Haris memandangku.“Ya aku yakin. Mau tidak mau kita harus melihat hutan kita. Kalau perlu kita selamatkan hewan atau tumbuh-tumbuhan yang masih hidup. Lagipula di sana ada polisi hutan” sambungku.“Tetapi petir masih mengamuk. Aku takut sekali. Nanti kalau disambar, bagaimana?” khawatir Miranda yang matanya merah terkena asap. “Tenang saja Mir. Asalkan kita berdo’a, pasti Allah SWT akan selalu melindungi kita. Lagipula di hutan sana ada polisi. Polisi hutan saja berani, kenapa kita takut?” jelas Haris.“Ya sudahlah,” keterpaksaan Miranda yang terlihat dari mimiknya. Butiran air membasahi hutan. Semakin lama air itu menyerbu begitu melimpah. Kami basah kuyup. Miranda belum apa-apa sudah menggigil. Haris memetik tandan daun pisang untuk menyelimuti kepala kami. “Sepertinya hujan ini akan lama,” pendapat Haris.“Bukan hanya lama. Tetapi, luar biasa deras. Tidak biasanya awan memuntahkan air sebanyak ini,” kataku.Asap-asap tebal itu perlahan-lahan tipis. Tidak beberapa lama, asap itu menghilang. Sekarang jarak pandang kami jelas. Sayang sekali, yang tersisa hanyalah tumpukan arang dan beberapa bangkai pepohonan. Aku bersyukur hutan kesayanganku sudah disapu hujan. Kendatipun kondisi hutanku sangat memprihatinkan.

******

Polisi hutan belum mengakhiri penyisirannya. Mereka terlihat basah kuyup seperti kami. Kami sempat mendengar pembicaraan mereka. “Bagaimana? Sudah tertangkap?” tanya komandan.“Belum, kami di sini masih berpatroli,” dari kejauhan.“Ya sudah, nanti kita bagi tim,” sarannya.“Jadi kita berpencar?” samar-samar.“Ya,” tambahnya.“Baik komandan!”Setelah itu, polisi dengan sigap berlarian. Tidak beberapa lama kemudian polisi itu menghilang.Hanya harapan kami, para perusak hutan dapat segera diseret polisi. Sehingga hutan yang kami sayangi ini dapat tumbuh subur, tanpa tangan-tangan biadap yang tidak bertanggung jawab. Dan apabila mereka bebas dari polisi, bebas dari hukum dunia, tetapi Allah SWT Yang Maha Adil pasti tidak berhenti menjalankan hukuman-Nya.Langkah demi langkah meniti hutan. Kami melihat burung-burung kecil beserta sarangnya hangus terbakar. Dihadapan kami, sungai yang dulu selalu hangat, yang menyegarkan setiap saat kami mandi, itu sudah menjadi sejarah. Bukan hanya itu, tubuh-tubuh pepohonan tidak sedikit digerus derasnya sungai. “Astagfirullah hal adzim!” aku terperangah.“Ini bencana. Bencana maha pedih sedalam samudera,” kata Haris. Lama kami terdiam, kami melihat kenyataan perih yang menimpa hutan ini. Puing-puing kebakaran itu menumpuk terseret keganasan air. Mereka membentuk suatu bendungan. “Ya Allah, selamatkan hutan kami, lindungilah desa kami dari mara bahaya yang tidak kami inginkan. Janganlah Engkau biarkan alam ini murka,” pintaku.“Amin-amin ya robbal alamin,” serempak kami.

*********

Awan masih belum berhenti menangis. Air sungai yang keruh itu semakin lama, semakin mendekati kaki kami. Perlahan-lahan kami meniti jembatan. Tiba-tiba jembatan bagian seberang itu ambruk.“Braakkk..!” Bukan main kagetnya. Kami meloncat dan tersentak ke tanah. Miranda kakinya sudah berceceran darah. Sementara Haris hanya keseleo. Aku membantu Miranda untuk bangun. Jembatan itu sekarang luluh lantak dihempas puing-puing pepohonan dan bebatuan. Sekarang kami tak bisa meneruskan perjalanan kami. Kami sepakat kembali ke hutan.“Kita lewat jalan pintas saja,” kataku.“Ya sudah, yang penting bisa pulang ke rumah,” setuju Miranda.Setelah kami melewati hutan. Jembatan merah masih kokoh berdiri. Hanya jembatan tadi saja yang rusak. Kami melihat pemandangan di bawah jembatan merah. Sayang sekali, airnya tiada bening. Hati kami bagaikan tertusuk duri. “Hu..hu..hu. Sekarang tidak ada lagi seberkas kejernihan air sungai ini,” isak Miranda sembari mengusap air matanya.“Begitu malangnya hutan ini. Andai mereka yang membakar hutan ini ada di sini, aku kan menangis sekencang-kencangnya. Andai mereka bisa mendengar raunganku, aku kan meraung-raung tanpa henti. Tetapi penderitaan hutan ini belum cukup berakhir. Hutan ini sekarang akan lenyap. Kemanakah burung-burung, kupu-kupu yang biasanya kulihat? Kemana?” tambahnya.Tibalah kami di sawah. Aku melihat dangau di tengah sawah itu. Di sana ku lihat seorang petani banting tulang menggali tanah. Padahal saat ini petir masih berteriak.“Petani tua itu berani sekali,” tutur Haris sambil menunjuk“Ya, seorang diri lagi,” ucapku.“Apa tidak takut disambar petir ya?” heran Miranda.Disekeliling petani tua itu, kami lihat sejumlah tanaman padi dan jagung itu layu. Aku kasihan sekali melihatnya. Memang inilah cobaan dari Allah SWT untuknya. Tetapi petani itu terlihat tabah dan sabar. Kami tersipu malu dengan kegigihan petani itu. “Petani tua itu sabar sekali, tiada rintihan tangis yang memoles di wajahnya. Aku kalah sabar dengan petani itu. Padahal petani itu usianya sudah senja. Berbeda sekali denganku,” kata Miranda, terpesona.“Ya kami rasa begitu. Kami setuju denganmu” ucapku dan Haris.“Bagaimana kalau kita ke sana?”, sambung Miranda.“Setuju!” seraya tersenyum dan mengacungkan jempol.“Ayo, tunggu apa lagi?”Kami turun ke sawah lewat pematang. Meskipun tanahnya labil, tetapi kami masih punya semangat untuk bertemu dengannya. Tak terasa kami sudah di dangau kakek petani. Kemudian kami sapa petani tua itu.“Assalamu’alaikum, kek” sapa kami selaras.“Wa’alaikum salam, eh siapa ya?” bingung kakek petani sembari menggaruk kepalanya.“Kita, yang sering lewat sini kalau ke mau ke sekolah,” Haris meyakinkan.“Oh kalian. Sekarang kakek ingat. Kamu Miranda kan? Dan kamu Haris kan? Dan kamu?” sambil mengingat-ingat dengan perlahan. Karena terlalu lama menebak dan belum menjawab, langsung saja ku jawab.“Aku dirham kek,” potongku menyakinkan kakek.“Oh, ya cu, kakek lupa,” sambil tertawa.Angin berhembus kencang. Daun-daun di sebelah jembatan sana berguguran. Hujan masih turun dengan derasnya, tetapi tidaklah sederas tadi.“Ma’af kek, Nama kakek, Soe Rusli kan?” tanya Haris.“Hehehe..ya cu,” katanya. Kami berbincang-bincang dengan asyiknya. Tidak terasa kami sudah lama di dangau ini. Hari sudah menjelang petang. Sebelum kami hendak pulang, kakek memberi kami beberapa buah jagung.“Maaf cu, kakek lupa bawa plastik. Sebentar, kakek ambil di rumah dulu ya,” ucapnya sembari meletakkan jagungnya di tanah pematang itu.“Tidak usah repot-repot kek, ditaruh di dalam tas kami saja,” tolak Miranda dengan menggelengkan tangan kanannya.“Tapi, nanti tas kalian kotor,” cemas kakek dengan raut wajahnya yang terlihat tua sekali dari keningnya.“Tidak apa-apa kek, nanti kami cuci,” kata Haris.”Ya sudah” ucap kakek.Kami memasukkan beberapa jagung ke dalam tas kami. Buku-buku kami tumpang tindih dengan jagung. Kami siap-siap pamit dan meneruskan perjalanan menuju desa kami.“Terima kasih ya kek,” ujar kami dengan kompak.“Ya sama-sama, cu,” tuturnya.“Assalamu’alaikum kek,” kataku.“Wa’alaikum salam,” jawabnya.“Hati-hati di jalan ya cu” tambahnya dengan memandangi kami yang melambaikan tangan ke arahnya. Dan kakekpun membalas melambaikan tangan. “Ya, sampai ketemu kek,” harap kami. Kami berlari-lari kecil sampai ke desa kami. Kemudian kami berpisah. Tinggal aku seorang diri menapaki langkah. Dan tibalah aku di rumah, disambut beberapa air yang mengenangi bibir pelataran. “Kamu ke mana aja nak? Ibu sama Ayah khawatir,” sambutnya.“Dari sawah, bu,” kataku terus terang.“Oh, ya sudah. Itu di dapur ada kue. Sana kamu makan,” perintahnya.Sebenarnya aku kelewat lapar, tapi di benakku aku masih memikirkan hutan kesayanganku.*********************************************************************************************************Sudah sepekan ini banjir mengenangi desaku. Serpihan-serpihan berserakan itu masih menumpuk. Hanya beberapa orang saja yang mau membersihkan. Aku tak tahu sampai kapan desaku seperti ini, tetapi aku masih bersyukur banjir ini tidak menenggelamkan.“Bu, sebaiknya kita mengungsi saja”“Memang ibu hendak mengungsi ke mana?”“Aku mau mengungsi ke atas, aku khawatir kalau sewaktu-waktu banjir menenggelamkan desa ini. Jadi bu, sudah dulu ya,” kemudian samar-samar pembicaraannya kepada ibuku.Keesokan harinya kudengar kabar bahwa perusak hutan itu sudah diseret polisi. Mereka meronta-ronta seperti orang gila. Mungkin itu karma baginya. Yah, itulah hikmah-Nya yang dapat kita petik.Beberapa hari kemudian, bantuan datang. Desaku dan hutan mulai jadi sorotan publik. Sore harinya, Menteri Kehutanan datang. Beliau membagikan bibit tanaman, pupuk, dan sejumlah tanaman sebagai rasa cintanya kepada hutan yang meradang ini. Saat itulah aku ditunjuk sebagai perwakilan untuk mengajak warga di desaku untuk ikut serta menanam benihnya.

Semua penduduk desa berantusias datang ke hutan. Ada yang meyaksikan, ada pula yang turun, ikut membantu. Tetapi senja itu mulai memerah di beranda cakrawala. Pancaran sinarnya sudah redup dan tenggelam di antara perbukitan itu.“Mari kita lanjutkan besok. Sekarang kita tunaikan shalat magrib,” ajak Pak Menteri sembari tersenyum.Kami shalat berjama’ah dan sesudahnya beristigosa bersama. Kami memohon kepada-Nya, agar banjir ini lekas surut dan desa kami bebas dari banjir. “Aku sumringah sekali, dapat menumbuhkan rasa kecintaan terhadap hutan kepada para sahabat-sahabatku,” kataku“Ya, begitupun denganku,” balas Haris dan Miranda.

*******

Keesokan harinya, air yang masih membanjiri desa kami sudah mulai surut. Kami begitu senang melihat keadaan ini. Bangkai-bangkai pepohonan itupun sudah mulai dibersihkan. Kami turut bergotong-royong satu sama lain.“Tidak ada korban jiwa atas insiden ini,” lapor sejumlah beberapa wartawan.Siang harinya, kami dan penduduk desa kembali melanjutkan penanaman di hutan yang gundul itu. Panasnya terik mentari tak menyurutkan niat kami. Setiap hari kami berjanji akan menyirami dan memberinya pupuk. “Senang sekali ya, kita bisa menanam hutan yang gundul,” seru beberapa anak.“Ya, akupun turut bahagia. Dengan cara inilah, hutan yang selama ini memprihatinkan, pasti akan seperti sedia kala. Ya, walaupun kita harus menunggunya tumbuh dengan waktu yang cukup lama”.

Siang itulah celotehan anak-anak kecil, sebayaku, dan yang menginjak dewasa sampai yang manula bersahut-sahutan. Diantara mereka juga ada yang saling mengoda.

Hari-hari desa kami memang sudah mulai seperti biasanya, tetapi tidak seindah sedia kala. Hewan-hewan yang menghiasi hutanku kian punah. Ya, inilah nasib hutanku sekarang.

Tiga tahun lamanya, kami tidak pernah mengalami malapetaka itu lagi. Air sungai mulai memperlihatkan kejernihannya. Ikan-ikan dengan berbagai macam warna dan jenis, menari-nari bagaikan mendapat kebahagiaan yang dulu hilang. Nyanyian alam sudah mulai terdengar.

Inilah kebahagiaan kami yang baru. Meskipun hutan ini tak seperti dahulu, tetapi kini hutanku kembali menemaniku di saat fajar, matahari terbit, mentari tergelincir, sore, senja memerah, bahkan hingga bulan dan bintang menyapaku. Tidak hanya itu, ia juga menemani berbagai macam keadaan hatiku. Mulai dari, sedih, senang, susah, dan sebagainya.

Aku bersyukur sekali kepada Allah Yang Maha Esa. Yang telah memberikan berbagai macam kenikmatan yang ia hadiahi untukku dan juga untuk semuanya ini. Alhamdulillah, desa dan hutanku suasananya tiada seburuk apa yang sebelumnya kubayangkan dalam benakku.

Hasrat kami, penduduk desa, tidak akan pernah pudar untuk giat menyirami dan memberinya pupuk. Melestarikan, merawat sekaligus mengembangbiakan hewan-hewan yang hampir jarang dijumpai. Bahkan kami rela mati-matian tidak mendapatkan setetes air bersih untuk keperluan kami, hanya untuk hutan yang kami sayangi. Ya, kalau bukan kita yang menyayangi hutan siapa lagi? Dan kalau bukan kita yang menyayangi dunia ini, siapa lagi?SAYANGILAH BUMI INI UNTUK ANAK CUCU KITA

0 komentar:

Post a Comment

Orang baik selalu meninggalkan komentar :)

Behind The Web

About

Contact

Name

Email *

Message *

Followers

Archive

ads ads ads ads

The Flash plugin is required to view this object.

Weekly Posts

The Flash plugin is required to view this object.

The Flash plugin is required to view this object.

Subscribe me

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

Pengnunjung

free counters

Popular Gallery

Something